RASIONALITAS BISA TIDAK RASIONAL
Saudara, di antara penyakit yang ingin ditularkan oleh Iblis kepada manusia adalah penyakit kesombongan. Baik kesombongan dalam harta, kekuasaan, ilmu, rupa, usia maupun nasab atau keturunan.
Iblis sendiri telah terjebak dalam penyakit kesombongan paling tidak karena tiga hal. Pertama, karena ilmu. Iblis adalah dikenal sebagai makhluk yang berilmu. Bahkan disebutkan, lihat Tafsir Ibnu Katsir, Iblis itu adalah gurunya para Malaikat. Maka Iblis merasa paling pintar, tak layak berguru apalagi hormat kepada Adam.
Kedua, karena usia. Iblis itu Allah ciptakan jauh sebelum manusia (Adam). Maka ia merasa aneh ketika diperintah untuk hormat kepada Adam yang baru saja diciptakan.
Ketiga, karena nasab atau keturunan. Iblis merasa lebih baik karena ia diciptakan dari api sedang manusia (Adam) diciptakan dari tanah. “Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab: "Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (Al-A’raf: 12)
Dari ketiga penyebab kesombongan Iblis di atas, bisa ditarik benang putih, sesungguhnya sebab kesombongannya adalah karena semata-mata mengunakan rasionalisasi yang berada di kepala. Dan karena itulah biasanya orang yang sombong disebut dengan besar kepala (bukan kepala besar) dan berjalan di muka bumi dengan mendongakkan wajah.
Jadi orang yang sombong, itu biasanya alasannya adalah rasionalitas. Dan kesombongan, yang semula dipikir secara akal menaikan derajat, ternyata terbukti bahwa kesombongan adalah justru membawa kepada kehinaan. Semua begitu. Orang yang sombong pasti berakhir dengan kehinaan. Iblis yang sombong dikutuk oleh Allah menjadi makhluk yang paling hina. Fir’aun yang menyombongkan diri hingga mengaku menjadi tuhan, juga mengenaskan. Sampai sekarang mayatnya jadi pelajaran. Dan begitulah seterusnya.
Dengan demikian, hidup hanya mengikuti fikiran rasionalitas semata, akan terjebak kepada sesuatu yang sangat tidak rasional, yang berujung kepada kebinasaan.
Seharusnya, orang selalu tidak lupa dengan suara hati nuraninya, bahkan mendasari semua tindakkannya dengannya, bukan sekedar mengikuti logika akal semata. Akal harus tunduk dengan suara hati. Jangan sampai suara hati diakali.
Saudara, tak ada orang yang sukses dan masuk surga karena semata mengikuti otaknya yang cerdas. Tapi orang itu bahagia dan masuk surga, bila mengikuti suara hatinya yang bersih. “sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Iblis sendiri telah terjebak dalam penyakit kesombongan paling tidak karena tiga hal. Pertama, karena ilmu. Iblis adalah dikenal sebagai makhluk yang berilmu. Bahkan disebutkan, lihat Tafsir Ibnu Katsir, Iblis itu adalah gurunya para Malaikat. Maka Iblis merasa paling pintar, tak layak berguru apalagi hormat kepada Adam.
Kedua, karena usia. Iblis itu Allah ciptakan jauh sebelum manusia (Adam). Maka ia merasa aneh ketika diperintah untuk hormat kepada Adam yang baru saja diciptakan.
Ketiga, karena nasab atau keturunan. Iblis merasa lebih baik karena ia diciptakan dari api sedang manusia (Adam) diciptakan dari tanah. “Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab: "Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (Al-A’raf: 12)
Dari ketiga penyebab kesombongan Iblis di atas, bisa ditarik benang putih, sesungguhnya sebab kesombongannya adalah karena semata-mata mengunakan rasionalisasi yang berada di kepala. Dan karena itulah biasanya orang yang sombong disebut dengan besar kepala (bukan kepala besar) dan berjalan di muka bumi dengan mendongakkan wajah.
Jadi orang yang sombong, itu biasanya alasannya adalah rasionalitas. Dan kesombongan, yang semula dipikir secara akal menaikan derajat, ternyata terbukti bahwa kesombongan adalah justru membawa kepada kehinaan. Semua begitu. Orang yang sombong pasti berakhir dengan kehinaan. Iblis yang sombong dikutuk oleh Allah menjadi makhluk yang paling hina. Fir’aun yang menyombongkan diri hingga mengaku menjadi tuhan, juga mengenaskan. Sampai sekarang mayatnya jadi pelajaran. Dan begitulah seterusnya.
Dengan demikian, hidup hanya mengikuti fikiran rasionalitas semata, akan terjebak kepada sesuatu yang sangat tidak rasional, yang berujung kepada kebinasaan.
Seharusnya, orang selalu tidak lupa dengan suara hati nuraninya, bahkan mendasari semua tindakkannya dengannya, bukan sekedar mengikuti logika akal semata. Akal harus tunduk dengan suara hati. Jangan sampai suara hati diakali.
Saudara, tak ada orang yang sukses dan masuk surga karena semata mengikuti otaknya yang cerdas. Tapi orang itu bahagia dan masuk surga, bila mengikuti suara hatinya yang bersih. “sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)