Saudara, kaum Yahudi pernah dikutuk oleh Allah menjadi kera adalah karena ulah mereka yang akal-akalan. Mereka tidak hati-hati. Mereka dilarang melaut menangkap ikan pada hari Sabtu sesuai dengan janji mereka sendiri, tapi ternyata mereka membuat rekayasa. Mereka memasang perangkap sehingga ketika ikan-ikan itu masuk pada hari Sabtu, tak bisa keluar lagi. Dan, pada malam Ahadnya mereka tangkapi ikan-ikan tersebut. Dengan cara itu mereka berfikir tidak menangkap ikan pada hari Sabtu. Itulah cara akal-akalan yang mereka lakukan.
Padahal sesungguhnya Allah hanya ingin menguji mereka, tapi ternyata mereka tidak tahan uji. “Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf: 163).
Mereka melakukan akal-akalan itu bukan tidak ada yang mengingatkan. Di antara mereka ada para Ulama yang mengingatkan bahwa itu hanyalah akal-akalan. Tidak boleh. Tapi mereka mengatakan tidak. Menurut akal mereka, mereka tidak menangkap ikan pada hari Sabtu. Mereka menangkapnya pada malam minggu. Mereka pura-pura tak sadar bahwa ikan-ikan itu tertangkap akibat ulah mereka pada hari sabtu. Inilah subtansi. Andaikan mereka mereka tanya pada hati, niscaya mereka bisa mengerti.
Tapi itulah memang semangat keagamaan kaum Yahudi, bukan dengan hati, selalu saja akal-akalan agar bisa keluar dari aturan Ilahi. Mereka juga taat terhadap aturan Agama bila itu menguntung selera dunia mereka. Tapi ketika aturan agama itu tidak menguntungkan, maka mereka cari akal agar bisa keluar dari aturan itu.
Pada awalnya mereka sendiri yang minta beribadah pada hari Sabtu, yang semula ditetapkan hari Jum’at. Karena hari jum’at kelihatan banyak rezeki, sedang pada hari Sabtu terasa sepi. Allah penuhi permintaan mereka, dengan menjadikan hari Sabtu sebagai hari agung bagi mereka. Mereka menyatakan siap beribadah total dan tidak mencari rezeki sama sekali pada hari itu. Di sinilah Allah menguji. Apakah benar semangat mereka itu. Ternyata semuanya bohong, kecuali sebagian kecil dari mereka. Mereka benar-benar tak tahan ketika melihat betapa banyak ikan bermunculan ke pinggir pada hari Sabtu. Maka mereka membuat perangkap untuk ikan-ikan itu. Dan ketika mereka diingatkan, mereka justru menyombongkan diri. “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina”. (Al-A’raf: 166)
Jadi, beragama itu tak boleh akal-akalan. Harus penuh kehati-hatian, ketulusan dan kepatuhan dengan sadar dan tulus. Beragama juga tak boleh musiman. Tak boleh pula karena selera. Hidup di dunia ini hanya sementara. Dan Agama menguji kita, kita lebih cinta dunia atau akhirat. Bila ternyata kita lebih cinta dunia, maka lepaslah akhirat. Sementara di dunia bisa menjadi sangat hina seperti kera. “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).” (An-Na-zi’at: 37-39)
Saudara, namun bila kita tetap kokoh, akhirat itulah tujuan, sementara dunia hanyalah jembatan, niscaya berbahagialah kita di dunia ini dan masuk surga di akhirat nanti. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Na-zi’at: 40-41).
Padahal sesungguhnya Allah hanya ingin menguji mereka, tapi ternyata mereka tidak tahan uji. “Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf: 163).
Mereka melakukan akal-akalan itu bukan tidak ada yang mengingatkan. Di antara mereka ada para Ulama yang mengingatkan bahwa itu hanyalah akal-akalan. Tidak boleh. Tapi mereka mengatakan tidak. Menurut akal mereka, mereka tidak menangkap ikan pada hari Sabtu. Mereka menangkapnya pada malam minggu. Mereka pura-pura tak sadar bahwa ikan-ikan itu tertangkap akibat ulah mereka pada hari sabtu. Inilah subtansi. Andaikan mereka mereka tanya pada hati, niscaya mereka bisa mengerti.
Tapi itulah memang semangat keagamaan kaum Yahudi, bukan dengan hati, selalu saja akal-akalan agar bisa keluar dari aturan Ilahi. Mereka juga taat terhadap aturan Agama bila itu menguntung selera dunia mereka. Tapi ketika aturan agama itu tidak menguntungkan, maka mereka cari akal agar bisa keluar dari aturan itu.
Pada awalnya mereka sendiri yang minta beribadah pada hari Sabtu, yang semula ditetapkan hari Jum’at. Karena hari jum’at kelihatan banyak rezeki, sedang pada hari Sabtu terasa sepi. Allah penuhi permintaan mereka, dengan menjadikan hari Sabtu sebagai hari agung bagi mereka. Mereka menyatakan siap beribadah total dan tidak mencari rezeki sama sekali pada hari itu. Di sinilah Allah menguji. Apakah benar semangat mereka itu. Ternyata semuanya bohong, kecuali sebagian kecil dari mereka. Mereka benar-benar tak tahan ketika melihat betapa banyak ikan bermunculan ke pinggir pada hari Sabtu. Maka mereka membuat perangkap untuk ikan-ikan itu. Dan ketika mereka diingatkan, mereka justru menyombongkan diri. “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: "Jadilah kamu kera yang hina”. (Al-A’raf: 166)
Jadi, beragama itu tak boleh akal-akalan. Harus penuh kehati-hatian, ketulusan dan kepatuhan dengan sadar dan tulus. Beragama juga tak boleh musiman. Tak boleh pula karena selera. Hidup di dunia ini hanya sementara. Dan Agama menguji kita, kita lebih cinta dunia atau akhirat. Bila ternyata kita lebih cinta dunia, maka lepaslah akhirat. Sementara di dunia bisa menjadi sangat hina seperti kera. “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).” (An-Na-zi’at: 37-39)
Saudara, namun bila kita tetap kokoh, akhirat itulah tujuan, sementara dunia hanyalah jembatan, niscaya berbahagialah kita di dunia ini dan masuk surga di akhirat nanti. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Na-zi’at: 40-41).